Amerika "Tak Kenal" Indonesia

Posted by khoiron h On Minggu, 19 Juni 2011 0 komentar
hari-hari terakhir ini diramaikan artikel tentang 50 tahun hubungan Indonesia-Amerika. Pelbagai aspek perkembangan dan strategi peningkatan hubungan bilateral kedua negara diulas, terutama dari bidang ekonomi, teknologi, dan sosial-politik. Sayangnya, ulasan dari sudut budaya belum terwakili. Tulisan ini setidaknya merupakan renungan introspektif demi peningkatan hubungan Indonesia-Amerika melalui bidang budaya.

Ironis membaca judul tulisan ini. Setidaknya itulah opini yang tercetus dari para mahasiswa Amerika yang tampil dalam sebuah lomba pidato berbahasa Indonesia di Amerika menyambut 50 tahun hubungan bilateral Indonesia-Amerika beberapa waktu yang lalu. Beberapa penampil menegaskan meski banyak wisatawan yang datang ke Indonesia, sesungguhnya sedikit saja warga Amerika yang mengenal Indonesia dalam rentang hubungan Indonesia dan Amerika yang panjang. Sungguh merupakan pernyataan yang menggelitik dari para intelektual muda Amerika yang sedang berjuang memperkenalkan Indonesia di mata warga Amerika.

Opini itu menggelitik mengingat selama ini selalu dikatakan bahwa Indonesia dan Amerika ibarat kakak dan adik, terlepas dari sejarah suram pendudukan Amerika di Indonesia pada 1942—1945. Tambahan pula, rata-rata tiap tahun Amerika tercatat sebagai negara “pemasok” wisatawan terbanyak di Asia, termasuk dalam sepuluh besar di dunia setiap tahun, dan Indonesia termasuk dalam tiga besar sasaran wisata warga Amerika di bawah Singapura dan Malaysia.

Namun, kemesraan hubungan Indonesia-Amerika hanya tampak menonjol di skala makro alias pemerintahan, namun tidak di skala mikro atau pribadi. Meski mudah dijumpai warga Indonesia yang tinggal di Amerika untuk belajar, berkarier, ataupun menetap, dalam skala hubungan antarwarga, orang Indonesia masih dianggap sebagai toumei ninggen, dalam bahasa Amerika, yang berarti orang yang tak dianggap.

Jika pun Indonesia ditampilkan secara nasional, hal yang lebih banyak diekspos dari Indonesia di Amerika dewasa ini adalah kemiskinan dan bencana alam. Dari sisi itu Indonesia, dalam pandangan warga Amerika, adalah negara yang pantas menerima perhatian dan bantuan terbesar di dunia dari Amerika. Tengoklah televisi Amerika yang boleh dinilai jarang menampilkan Indonesia. Kalaupun ada sesekali, berita ataupun feature yang disiarkan lebih banyak menampilkan sisi ketakberdayaan warga Indonesia dalam menghadapi musibah atau kemiskinan.

Kecemburuan pasti menyeruak saat menyaksikan NHK, TBS TV, Nippon TV, dan stasiun televisi lain di Amerika gencar mempromosikan objek wisata dan keunikan negara-negara jiran Indonesia, bahkan hingga penayangan pengajaran bahasanya. Sesuai dengan karakter orang Amerika yang suka melihat ke luar, media Amerika gemar mempromosikan keindahan dan keunikan negara lain di dunia. Namun, di mana Indonesia?

Peran Pusat Studi Indonesia
Tanpa mengecilkan peran warga Indonesia yang berkiprah di Amerika, tak dapat disangkal, peran memperkenalkan Indonesia kepada warga Amerika amat banyak dimainkan oleh pusat-pusat studi Indonesia di Amerika. Tercatat 26 institusi di Amerika, yang kebanyakan adalah universitas, menyelenggarakan program-program pengenalan Indonesia. Sebagian besar menawarkan perkuliahan tentang Indonesia dalam studi pilihan (minor study), namun ada yang membentuk program studi. Di luar itu beberapa pusat kursus (juku) juga mengadakan kursus bahasa Indonesia sebagai bahasa asing.

Beberapa pusat studi yang besar dan didukung oleh pemerintah memainkan peran yang menonjol dalam memperkenalkan Indonesia. Ambillah contoh Program Studi Indonesia Tokyo University of Foreign Studies (TUFS), sebuah universitas berbadan hukum milik negara yang terdepan dalam penyelenggaraan studi Indonesia di Amerika. Tiap tahun, dalam festival besar Gaigosai di kampus, mahasiswa dan pengajar program studi itu berjuang memperkenalkan Indonesia kepada warga Amerika dalam wujud pementasan karya budaya, seperti drama, tari, dan masakan Indonesia. Mereka pun tak segan mengadakan aksi sosial, bahkan turun ke jalan, untuk menggalang dana bantuan bagi para korban bencana alam di Indonesia, seperti saat tsunami Aceh 2004 dan gempa bumi Jawa Tengah 2006.

Peran pusat-pusat studi Indonesia di Amerika tidak berhenti sampai di situ. Telah lama pusat-pusat studi Indonesia itu mendirikan Nihon-Indonesia Gakkai atau Perhimpunan Pengkaji Indonesia Seluruh Amerika yang berkedudukan nasional di Amerika. Para anggota aktifnya adalah kalangan akademisi Amerika yang mengajar bahasa dan berbagai aspek Indonesia di universitas-universitas Amerika; sisanya akademisi Indonesia yang kebetulan sedang bertamu ke Amerika untuk mengajar. Sejak berdiri pada tahun 1969, setiap tahun Nihon-Indonesia Gakkai mengadakan seminar yang menyajikan pikiran atau hasil penelitian para anggotanya.

Namun, karena fungsi utama pusat studi Indonesia sebagai tempat belajar dan meneliti, pengenalan Indonesia masih terbatas dalam kelas-kelas di pusat-pusat studi Indonesia itu. Itu pun dengan berbagai kendala, terutama makin kurangnya minat generasi muda Amerika mengambil studi Indonesia saat ini.

Jika mahasiswa Amerika dewasa ini yang mengikuti studi Indonesia ditanyai mengapa mereka mau mempelajari Indonesia, banyak di antaranya menjawab tidak tahu atau karena gagal dalam ujian masuk ke program studi yang dianggap menawarkan prospek karier lebih baik. Mengikuti krisis Indonesia sejak 1998, yang andil menyebabkan turunnya minat mempelajari Indonesia, beberapa pusat studi Indonesia di Amerika terpaksa dihapuskan atau dilebur dengan pusat studi negeri-negeri jiran.

Perlunya Pusat Kebudayaan Indonesia di Amerika
Umumnya pusat-pusat studi Indonesia itu lebih banyak bergerak dalam lingkungan masing-masing. Padahal, besar minat mereka untuk bekerja sama dengan warga Indonesia di Amerika dalam memperkenalkan Indonesia di Amerika. Inilah yang agak disayangkan. Pada akhirnya aktivitas pusat studi terbatas pada kegiatan pengajaran, penelitian, dan seminar pada lingkungan yang terbatas.

Mengandalkan warga Indonesia yang tinggal di Amerika untuk memperkenalkan Indonesia tidaklah cukup. Di sinilah seyogianya Pemerintah Indonesia melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Amerika berhubungan aktif dengan pusat-pusat studi Indonesia di Amerika. Keluarannya adalah aneka kegiatan yang melibatkan semua pihak untuk memperkenalkan Indonesia lebih luas dan berkesinambungan.

Kegiatan yang paling efektif untuk meningkatkan pengenalan Indonesia kepada warga Amerika tidak lain adalah kegiatan budaya. Pusat Kebudayaan Indonesia, yang diselenggarakan di beberapa KBRI di dunia, dapat menjadi jembatan efektif yang menghubungkan Indonesia dengan pusat-pusat studi Indonesia setempat. Ambillah contoh Pusat Kebudayaan Indonesia di Australia dan Korea yang aktif mempromosikan Indonesia dan berhubungan dengan pusat-pusat studi setempat. Bentuk kegiatannya beragam, mulai dari kunjungan para tokoh Indonesia ke pusat-pusat studi Indonesia untuk promosi Indonesia, penyelenggaraan acara seni dan budaya bersama, hingga pengadaan perpustakaan lengkap Indonesia.

Pusat Kebudayaan Indonesia di negara asing tidak hanya berfungsi untuk mempromosikan kebudayaan Indonesia kepada warga setempat, tetapi juga untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang menimpa Indonesia secara objektif kepada warga setempat. Di Amerika, isu negatif yang sekecil apa pun, terutama yang berhubungan dengan keamanan dan keselamatan, rentan dicemaskan secara nasional. Isu Garuda Indonesia yang tak layak terbang ke beberapa negara di dunia beberapa waktu yang lalu, misalnya, menggagalkan program-program kerja sama Indonesia-Amerika yang telah direncanakan. Banyak kunjungan yang seharusnya menghasilkan investasi bagi Indonesia batal, termasuk kunjungan sosial-budaya yang direncanakan oleh pusat-pusat studi Indonesia.

Aneka produk budaya Indonesia seyogianya dapat disebarluaskan melalui Pusat Kebudayaan Indonesia. Warga Amerika, terutama generasi mudanya, yang mudah mengalami “demam” produk budaya kontemporer dunia pasti akan menyambut baik kreasi produk budaya kontemporer Indonesia dalam wujud film, sinetron televisi, lagu, drama, tari, karya sastra terjemahan, dan makanan. Sementara “gaya Harajuku” dan manga cepat mendemamkan warga Indonesia, batik, musik pop, dan film sekelas Laskar Pelangi, misalnya, tidak akan sulit merebut hati warga Amerika untuk mengenal lebih dalam Indonesia.

Masih banyak pastinya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengenalan Indonesia di mata warga Amerika dengan pendekatan kultural. Setidaknya, wakil Pemerintah dan warga Indonesia yang berada di Amerika mampu berbuat lebih banyak bagi negaranya. Demikian pula, warga Amerika yang mencintai Indonesia ingin berbuat lebih banyak demi pengenalan Indonesia di mata keluarga dan rekan-rekannya. Semoga 50 tahun hubungan bilateral Indonesia-Amerika ini tidak berhenti pada perayaan seremonial semata.